Tuesday, July 5, 2011

Rizki A Zaelani: Kurator dan Kritikus Berbeda



Seni rupa, atau Malaysia menyebutnya seni tampak (terjemahan dari visual art), berperan besar dalam memoles wajah perdaban sebuah bangsa. Benda-benda komersial pun, seperti mobil, printer, sisir dan bondu, dan seluruh benda yang nampak, semakin membutuhkan desain seni rupa, dipapantes, supaya memancarkan citra artistik yang selaras dengan geliat jaman.

Kemasyhuran bahkan kemakmuran sebuah bangsa, bisa diukur dari pakrtik seni rupa yang dijalankannya. Komponen yang turut menentukan gerak laju atau langkah mundurnya seni rupa, di antaranya galeri (pemerintah atau swasta), museum, kurator, institusi pendidikan, kolektor, kolekdol, art promoter, dan lain-lain. Berikut perbincangan Doddi Ahmad Fauji dari Koktail dengan Rizki A. Zaelani tentang pelbagai hal yang berkait dengan komponen institusional seni rupa di Tanah Air.

Catatan kuratorial yang Anda berikan dalam banyak katalog pameran, referensinya selalu mengacu kepada permikir luar, sehingga wacana yang Anda kemukakan lebih konseptual (menurut pemikiran Barat), namun menjadi kurang kontekstual (dengan kondisi seni rupa di Tanah Air), bagaimana ini?
Diskursus atau wacana tidak mengenal batas-batas tanah air [Indonesia] atau bukan [Barat, Timur, Eropa, Afrika, Asia, dll]. Dalam pemahaman bersama kini, pada prinsipnya, kebudayaan berkembang sebagai urusan ‘pinjam-meminjam’, saling pengaruh, konfrontasi, atau persilangan pendapat. Tak ada kebudayaan yang kini dianggap bisa berdiri-sendiri, seolah bisa berkembang tanpa pengaruh dan interaksi dengan kebudayaan lain, apalagi yang kita sebut ‘kebudayaan’ dan ‘kesenian’ Indonesia yang jamak ini, persilangan itu akan deras. Saya pikir, suatu konsepsi, termasuk konsep-konsep seni rupa, menjadi kontekstual atau tidak, dalam urusan: Apakah soal itu menemukan ‘realitas’nya atau tidak, menemukan forum-forum pembahasannya atau tidak. Catatan kuratorial yang saya tengah terus kembangkan, hingga kini, memang banyak menggali berbagai konvensi dan diskurus seni rupa yang bersifat internasional. Saya tak sebut itu Barat, atau bukan. Saya sadari, prektek seni rupa yang saya hadapi, kaji, dan geluti berkembang di aras seni rupa yang bersifat internasional.
Para seniman/wati yang saya kenal, memang tinggal dan bekerja di Indonesia [di Bandung, Jakarta, Yogjakarta, dll], tapi proyeksi gagasan dan dimensi pikiran mereka melampui batas-batas wilayah fisik yang mereka tempati. Sejak awal para seniman itu belajar, mereka sudah terbiasa menggali diskurus dan persepsi ‘seni’ secara internasional, misalnya saja: menggambar bentuk (still life) pemadangan (landscape), atau gambar model. Itu tradisi seni rupa yang sudah meng-internasional. Bahkan beberapa seniman dengan karya-karya yang berkarakter ‘adat’ dan tradisi lokal pun, misalnya: lukisan kaca, kini mulai ada yang menggali masalah-masalah ke-kini-an pengalaman hidup dan bermasyarakat. Situasi dan pengalaman itu juga dibentuk karena ada TV, radio, film, kamera digital, atau internet. Semuanya soal-soal yang tentu susah dipilah-pilih, mana yang ‘Indonesia’ dan mana yang bukan.

Mengapa Anda tidak suka menyampaikan paraphrase yang memudahkan untuk memahami seni rupa dalam catatatan kuratotial? Maksud saya, seperti A Teuuw mengomentari karya sastra dalam buku Tergantung pada Kata, atau Sanento Yuliman dalam buku Dua Seni Rupa, mudah dicerna.
Ha… ha… ha… Saya sudah lebih dari 15 tahun membuat tulisan untuk pengantar kegiatan pameran seni rupa. Saya tak pernah bermaksud membuat-buat paraphrase. Dalam kurun pengalaman saya, saya sudah mengerjakan berbagai cara dan model penulisan. Dalam kurun waktu tertentu, banyak juga tulisan pengantar pemeran yang saya buat lebih singkat dan ‘akrab’. Sekarang, seni rupa Indonesia tengah mengalami tahap perkembangan yang luar biasa: pesat dan ekstensif, sehingga saya pikir kita kini membutuhkan cara pandang dan pemahaman yang intensif. Dua nama yang Anda maksud tadi adalah para pengkaji seni yang saya hormati. Mereka adalah para kritikus seni yang hebat. Tapi saya, kini, lebih giat bekerja sebagai kurator seni rupa, bukan kritikus seni.

Bisa dijelas-tegaskan prinsip-prinsip Anda dalam mengkurasi pameran?
Kurator dan proyek kuratorial pameran yang kini dikenal luas, sebenarnya baru dimulai sejak tahun 1990’an. Bagi saya, perkembangannya sangat pesat dan hebat, meski bukannya tanpa masalah dan tantangan. Banyak orang masih bingung, membedakan fungsi seorang kurator dengan kritikus bagi suatu pameran. Kritikus bekerja setelah pameran dilangsungkan, sedang seorang kurator bekerja bersama seniman, juga pihak penyelenggara, mempersiapkan pameran (termasuk di antaranya karya-karya). Tentu saja, ada praktek disiplin kritik seni yang mesti dikuasai seorang kurator, kemampuan itulah ia ajukan pada seniman selama proses dialog kuratorial persiapan pameran, di ‘balik layar’.
Kurator, dalam hal ini, berfungsi sebagai katalisator proses kreasi seniman. Penulisan kuratorial pameran bukan menyimpulkan hasil-hasil karya-karya yang dibuat seniman, selain mengantarkan dan menyatakan bingkai persoalannya lebih luas. Publik akan memahami pencapaian seniman dalam konteks yang lebih lapang. Seorang kritikus kemudian mengamati dan menilai pencapaian karya seniman itu dalam kajian tulisan yang dipublikasikan melalui media.
Saya tak pernah menganggap kalau tulisan yang saya buat untuk pameran itu bisa mewakili keasyikan dan kehebatan bagi seseorang [kritikus atau audiens biasa] menikmati karya yang dipamerkan itu secara langsung. Tulisan kuratorial bukan menjelaskan ‘ini apa artinya’, tapi menyatakan luasnya konteks masalah. Untuk itu, tentu mesti ada kesepahaman antara kurator dan seniman.

Seelite-elite-nya seni rupa di Barat, tetaplah diapresiasi oleh masyarakat. Orang berbondong-bondong ke museum atau galeri. Tapi di kita, taste of aesthetic seniman dan kurator benar-benar elite, sehingga terjadi jurang yang menganga dengan masyarakat luas. Jangan-jangan praktik seni rupa kita saat ini salah arah, tidak kontekstual?
Di Jepang, di setiap perfecture [mungkin setingkat kabupaten] didirikan museum yang besar dan lengkap. Masing-masing pemerintah daerah menyiapkan anggaran tak hanya mendirikan gedung dan perangkat administrasinya, tapi juga membeli koleksi masterpiece. Ada museum daerah yang memilih koleksi utama dari perkembangan seni rupa Inggris, ada yang Jerman, ada juga yang memilih kurun perkembangan secara tertentu, misalnya: seni rupa tahun 1960 ke 1870, dll. Mereka masing-masing tentu juga mengoleksi karya-karya para seniman lokal mereka, selain para seniman Jepang dengan reputasi internasional. Audiens utama museum itu, tentu saja masyarakat di wilayah itu selain para wisatawan. Di Indonesia memang lain, saya rasa mungkin belum. Jika di Sidoardjo kini belum dibutuhkan museum seni rupa bertaraf internasional, kita bersama mudah maklum. Saya pikir, soal yang elite atau tidak, itu urusan persepsi dan tingkat penerimaan secara sosial. Bagi banyak buruh di Tanggerang, masuk ke museum itu urusan ‘elite’, padahal di wilayah administrasi Tanggerang juga ada ‘museum’ seni rupa yang dimiliki oleh pihak swasta.
Soal ‘selera seni’, lebih rumit lagi. Di Jakarta sendiri, masih banyak orang tak acuh pada urusan apresiasi karya seni rupa. Bahkan, untuk banyak kalangan yang gemar membeli karya seni rupa pun, soal ‘selera seni’ bukan perkara yang mudah. Saya percaya, cita rasa seni, selera seni, taste, atau sense, itu bersifat kultural dan juga historis. Itu bukan soal yang dibuat-buat seseorang, atau sekelompok, secara masing-masing. Soal ‘selera seni’ itu diwariskan dan diajarkan secara kultural. Saya pikir, budaya Indonesia adalah ‘kebudayaan besar’. Visi dan pemahaman kita juga mesti melihatnya dalam konteks berlangsungnya proses dialog peradaban yang mendunia dan mensejarah.

Jangan-jangan seni rupa yang benar menurut masyarakat itu adalah lukisan seniman Jelekong, lukisan potret di pinggir jalan, lukisan abstrak di kios-kios Bali yang dibeli oleh turis asing, gerabah di Purwakarta, atau bagaimana?
Dalam pemahaman perkembangan seni rupa dikenal apa yang saya sebut sebagai ‘medan sosial seni [rupa]’, atau artworld. Medan semacam ini tak hanya berisi pelaku dengan ‘jabatan’ dan perannya, yang lebih penting lagi justru berisi jaringan kerja [networking] dan ‘aturan bersama’ [konvensi] tertentu yang memungkinkan berbagai praktek seni rupa yang dimaksud menjadi lumrah dan masuk akal. Medan sosial seni ini tidak tunggal, dan beroperasi secara kompleks. Persoalannya bisa dirunut dari istilahnya, yaitu: soal worldness-nya, soal yang menyangkut tata hubungan sosialnya; dan masalah artness-nya, menyangkut seluruh pertimbangan pekembangan wacana dan sejarah seni rupanya. Saya yakin, setiap praktek seni rupa: apakah itu lukisan dari daerah Jelekong atau garabah dari desa Plered [Purwakarta], punya ‘medan sosial seni’nya secara tertentu. Tentu medan sosial seni mereka itu berkaitan dengan medan sosial seni yang lainnya juga. Bagaimana kita menyangkal ‘lukisan Jelekong’ yang dijual di pinggir itu adalah juga lukisan, sesuatu yang memiliki komponen fisik ‘sama’ dengan yang dipamerkan di galeri-galeri? Mereka jadi berbeda, karena beroperasi di medan sosial seni yang berbeda. Soal ‘masyarakat’, ya , bergantung masyarakat mana yang kita tengah bicarakan.

Bagaimana Anda memetakan seni rupa di Nusantara?
Pada kurun waktu enam tahun terakhir, saya di Galeri Nasional Indonesia, meriset dan mengembangkan apa yang kami sebut ‘Seni Rupa Nusantara’. “Pameran Seni Rupa Nusantara” yang dibuat dua tahun sekali itu, dimulai oleh Mamannoor (alm) empat tahun sebalumnya lagi. Jadi kurang lebih sudah sepuluh tahun format pameran itu dikerjakan. Hingga kini, masih terus dipikir-pikirkan. Tak mudah memang untuk menyebut ‘eksis’ yang disebut ‘seni rupa Nusantara’. Toh istilah ‘Nusantara’ setidaknya lebih tua dari istilah ‘Indonesia’. Di cakupan wilayah itu kini ada wilayah administrasi negara-negara [selain Indonesia]: Singapore, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, juga Timor Leste. Kita tak bisa sebut seni rupa Nusantara melulu sebagai seni rupa Melayu, misalnya. Dari sini saja kita bisa bayangkan problematikanya: merapatkan sekaligus ‘peta kultural’ dengan ‘peta administrasi politik’. Masalah yang tak sederhana. Tapi, dalam penyiapan pameran seni rupa Nusantara selanjutnya (tahun 2009), Galeri Nasional Indonesia mulai menimbang pentingnya dimensi ‘internasional’ dari pameran ini.

Pastilah ada yang tidak beres dalam pendidikan apresiasi di Tanah Air, sehingga tercipta jurang menganga tadi. Dalam analisis Anda, apa yang tidak beres itu?
Menimbang dunia kritik dan apresiasi seni rupa, di Indonesia, memang tak ada pendidikan khusus yang menghasilkan ahli-ahli di bidang kajian seni. Orang yang mau mendalami bidang kajian, umumnya, dilakukan di tahap strata S2. Itupun masih kurang. Sedang soal dunia kritik seni, itu bukan hanya tanggungan dunia pendidikan saja, tapi juga lembaga-lembaga di masyarakat, seperti misalnya, media massa. Sedangkan untuk jadi seniman, kan tak mesti sekolah hingga S2 atau S3. Banyak seniman di Indonesia yang tak punya kesempatan belajar seni rupa secara formal, dari sebagai yang beruntung pun kebanyakan S1. Saya rasa itu bukan masalah gawat. Yang gawat adalah berkembangnya situsasi yang nyaman menganggap bahwa soal praktek seni itu, cuma soal bakat dan ‘rasa-merasa’; padahal jelas seni rupa adalah juga soal ‘tahu-menahu’.
Memang, ada ongkos yang berharga secara institusional di situ. Ini berhaga ‘mahal’ dan jadi tanggung jawab banyak pihak. Kita mesti tak kapok terus menggalang kepedulian bersama itu, dengan cara bekerja sama secara positif dan produktif. Jika masih kuat anggapan adanya ‘jurang apresiasi masyarakat’, saya pikir itu soal yang bermakna relatif, kita bisa kaji masalah itu dalam konteks-konteks yang bersifat spesifik. Kita bisa ‘bereskan’ masalah itu secara ‘kontekstual’.

Kurator ini kan profesi baru di Tanah Air, yang metodologinya belum dipelajari secara mandiri di perguruan tinggi seni rupa. Mengapa perguruan tinggi selalu lambat merespons gejolak jaman?
Saya tak tahu persis di tempat lain. Di tempat saya mengajar, ada mata kuliah manajemen seni dan sosiologi seni yang diajarkan pada para mahasisiwa (S1). Pelajaran Manajemen Seni mendiskusikan persiapan dan tata cara membangun karier sebagai seniman, sedangkan Sosiologi Seni membentuk kesadaran para calon seniman agar waspada bahwa seni memiliki dimensi prakteknya secara social, sehingga segala bentuk praktek seni rupa itu juga memiliki jaringan networking sosial. Dalam kuliah-kuliah itulah dipahami posisi dan peran kurator. Saya dan kawan-kawan di Bandung sudah memulai ini lebih dari lima tahun ke belakang. Memang, di Indonesia tak ada pendidikan yang khusus jadi kurator. Di luar negeri pun baru tumbuh. Meski saya bekerja di perguruan tinggi, tentu masih ada pihak yang lebih kompeten untuk menjawab masalah ‘ketertinggalan’ dunia pendidikan dewasa kini.

Tidak ada asosiasi kurator di Tanah Air. Saya kira itu perlu. Sebab profesi ini bersinggungan dengan nilai ideal sekaligus material, karena itu perlu etika dalam kerja kuratorial. Apakah sudah ada pembicaraan ke arah pembentukan asosiasi kurator yang akan merumuskan kode etik kurator, atau biarkan saja dulu profesi ini bergerak bebas dan liar?
Kode etik kurator sebenarnya menginduk pada kode etik permuseuman, secara internasional dikenal butir-butir ketetapan yang dikeluarkan oleh ICOM (International Committee for Museology), juga beberapa yang dikeluarkan oleh asosisasi museum melalui penerbitan jurnal-jurnal internasional, seperti AAM (the American Association of Museums). Kode etik tak bisa ditetapkan oleh kelompok asosiasi lokal. Masalahnya, yang sering kita bicarakan bukan soal pameran di museum, tapi praktek kerja kuratorial di galeri-galeri privat. Penyelesaian masalah kita soal curatorship itu bukan soal urun-rembuk sekelompok pihak, tapi soal menanggapi semacam bentuk kesadaran kultural yang telah ada dan bekerja sebagai kerangka etik praktek seni rupa yang telah beropereasi secara internasional. Itu semua, siapa yang acuh?

Nah, para pemilik galeri swasta mulai membentuk asosiasi yang saat ini diketuai Edwin Rahardjo. Anda punya bayangan dan harapan dengan gerak ke depan asosiasi ini?
Saya kurang akrab dengan soal itu. Saya bahkan belum pernah membaca ketetapan atau kebijakan asosiasi itu yang dipublikasikan.

Dan mengenai Galeri Nasional, mulai mengemuka wacana supaya dijadikan Badan Layanan Umum (BLU), hingga geraknya bisa lebih leluasa, dan bisa mencari investor, menurut Anda?
Ha… ha… ha…, ini soal pegawai negeri, ya. Soal suka-duka kurator ‘plat merah’. Dalam sistem administrasi negara, ditetapkan kerangka kerja kelembagaan untuk mengatur kinerja dan usaha lembaga-lembaga negara, di antaranya adalah apa yang disebut sebagai UPT (Unit Pelayanan Teknis) dan BLU (Badan Layanan Umum). Pada prinsipnya, semua kinerja dan usaha lembaga negara diperuntukkan bagi kepentingan publik, untuk ‘melayani’ publik. Jadi istilah UPT atau BLU itu adalah istilah teknis dan administratif untuk mendukung kinerja lembaga. Memang, jika GNI menjadi BLU, maka lembaga itu lebih ‘mandiri’ mengelola anggaran yang bisa digunakan untuk pengembangan lembaga. Jika UPT, seluruh perencanaan administasi keuangan ditetapkan oleh lembaga lain berdasarkan aturan yang sudah ada.
Tapi ada syarat-syarat administrasi dan kelembagaan tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah lembaga untuk kemudian bisa menjadi BLU. Ini sangat teknis. Yang penting, masalahnya bukan soal investor (swasta) atau kemudahan ‘mencari uang’, tapi soal pembentukan visi dan perencanaan masa depan demi memberikan program-program pelayan publik yang lebih luas dan lebih baik lagi. Wacana pengembangan Galeri Nasional Indonesia memang kini kian mengemuka, seiring perkembangan seni rupa kita yang makin bergairah dan dinamis. Toh, masih banyak soal-soal policy administrasi dan kelembagaan negara yang mesti dirunut dibicarakan, direncanakan dan putuskan secara lebih optimal dan tepat guna. Ini pekerjaan besar yang butuh waktu dan ‘keyakinan’ untuk menjalankannya.

Anda kan PNS, memenuhi syarat administratif untuk mengepalai Galeri Nasional. Anda siap bila masyarakat mengusulkan jadi kepala Galeri Nasional?
Saya memang pegawai negeri, meski baru seumur jagung. Meski sering digosipkan sebagai ‘kurator plat merah’, sebenarnya kantor saya di Perguruan Tinggi. Saya juga bekerja dengan cara mengajar, dan itu adalah kepercayaan dan kebahagiaan bagi saya. Saya merasa terhormat dipercaya untuk menjalankan keduanya, mengajar dan jadi kurator. Saya bahkan belum memutuskan untuk bekerja sebagai kritikus seni rupa. Saya pikir, untuk menjadi kepala GNI, itu soal lain. Tak mudah menduduki jabatan itu. Saya perhatikan, beberapa kawan-kawan saya, yang bekerja di GNI maupun di lembaga negara di bidang seni rupa lainnya, sudah lebih siap dan mempersiapkan diri untuk jabatan penting itu.

Malaysia membuat Visi 2020 termasuk dalam bidang seni tampak (visual arts). Kita diam-diam saja, baru ribut setelah dilabrak. Anda membayangkan visi seni rupa Indonesia menuju tahun 2014 misalnya, seperti apa?
Saya tak paham mengapa tahun 2014, padahal Malaysia saja yang lebih dulu kita tahu menetapkan orientasi pencapaian bangsanya memutuskan jangkauan yang lebih jauh (2020)? Tapi perkembangan seni rupa Indonesia mesti punya visi. Tentu saja, soal visi ini bisa mengandung kontroversi pendirian. Anggap saja, pura-pura, visi saya yang akan djalankan. Meski kita maklum, bangsa Indonesia kini tengah sibuk menimbang ulang pesoalan sejarah, bahkan dalam banyak kasus sebagian sibuk berebut menguasai sejarah. Saya pikir, masalah itu tak juga jauh dari persoalan seni rupa. Bagi saya, pemikiran penting perkembangan seni rupa mesti berkaitan dengan pola kesadaran ‘refleksi secara institusional’. Kesadaran yang sering dipromosikan oleh Ulrich Beck, Anthony Giddens, dan Scott Lash, sebagai ‘reflextive modernization’. Ini bukan soal pengembangan infrastruktur seni rupa, tapi juga tentang supra-strukturnya. Perkembangan seni rupa Indonesia, ke depan, tak hanya sadar pada kinerja operasional jaringan kelembagaannya yang kritis dan bermartabat, tapi juga awas pada proyeksi pengembangan dunia pemikiran dan pengkajian yang terbentuk akibat kinerja infratrukturnya yang kuat.

Cita-cita utopis Anda dalam bidang seni rupa?
Saya sering membayangkan saat, di mana kita, bangsa Indonesia, tak lagi merasa ‘kecil hati’ menyatakan perkembangan ekspresi seni dan kebudayaannya. Saya bisa sebut sikap ‘minder’ atau rendah diri, jika kita terus-menerus, apa lagi memaksa, mengatakan: “Kita masih lebih hebat dari orang lain”, atau “Kita tak pernah bisa maju seperti orang lain”. Kita tak usah malu membicarakan soal ‘ekonomi budaya’ dan ‘ekonomi seni rupa’, tapi jalankan itu dengan kebanggaan, dengan bermartabat.

Rizki A. Zaelani, lahir di Bandung, 27 Desember 1965. Menempuh pendidikan pada Departemen Seni Murni FSRD ITB (lulus 1992). Pada 1995, mengikuti workshop on Curatorship bersama beberapa kurator Australia, Balai Nasional Seni Lukis Malaysia, Kuala Lumpur – Malaysia. Diselenggarakan oleh COCI ASEAN bekerja sama dengan Asialink - Australia. Lalu Lalu mengikuti workshop on Curatorship bersama kurator Jepang Toshio Shimizu pada 1997, diselenggarakan oleh The Japan Foundation, Jakarta. Pada 1998 mengikuti Curator in Residence Program di kota Tokyo (Toshio Shimizu - Independent Curator Office) dan Fukuoka (Fukuoka Asian Art Museum / FAAM).
Kini aktif mengkuratori berbagai pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh galeri swasta, dan sejak 2002 tercatat sebagai anggota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia.

# foto oleh doddi ahmad
@edisi cetak termuat pada koktail nonor 26::>> 20 - 26 maret 2008

tulisan yang nyambung